Kamis, 14 Februari 2013

Apa itu Dioksin??


Dioksin adalah istilah yang umum dipakai untuk salah satu keluarga bahan kimia beracun yang mempunyai struktur kimia yang mirip serta mekanisma peracunan yang sama. Keluarga bahan kimia beracun ini termasuk
(a) Tujuh Polychlorinated Dibenzo Dioxins (PCDD);
(b) Duabelas Polychlorinated Dibenzo Furans (PCDF); dan
(c) Duabelas Polychlorinated Biphenyls (PCB).
PCDD dan PCDF bukanlah produk kimia yang dikomersilkan, tetapi produk sampingan yang secara tidak sengaja terjadi di dalam banyak proses pembakaran dan beberapa proses industri kimia. PCB dengan sengaja diproduksi secara komersil dalam jumlah besar sampai produksi tersebut dilarang di Amerika pada tahun 1977

Karakteristik senyawa Dioksin
Senyawa dioksin sendiri adalah senyawa yang tersusun oleh atom karbon, hydrogen, oksigen dan klor.   

Senyawa 2,3,7,8-TCDD murni telah disintesis sejak tahun 1967.  Bentuk fisik dari senyawa murni ini adalah berbentuk serbuk kristal padat (seperti serbuk yang terdapat pada tablet), tidak larut di dalam air dan sedikit larut pada beberapa pelarut organic. 

Sumber dan jenis dioksin di lingkungan
Setiap hari manusia menghasilkan sampah. Baik sampah organik maupun anorganik. Data BPS pada tahun 2000 menunjukkan produksi sampah dari 380 kota di Indonesia sebesar 80.235,87 ton tiap harinya.  Dari sampah yang dihasilkan tersebut 37,6 %  atau sekitar 30.168,687 ton ditangani dengan cara dibakar.  Data itu 10 tahun yang lalu… Tentu saja dengan meningkatnya jumlah penduduk, volume sampah yang dihasilkan juga akan semakin banyak.
Pembakaran sampah yang tidak menggunakan teknologi tinggi dapat berakibat pada pencemaran lingkungan.  Sebab hal ini dapat menghasilkan senyawa kimia berbahaya dan beracun yang dikenal dengan nama dioksin. Senyawa ini dapat terbentuk pada pembakaran dengan temperature yang rendah.  Bahkan pembakaran dengan menggunakan incinerator pada temperatur 400 – 600 0 C merupakan kondisi yang optimum untuk pembentukan senyawa dioksin.
Apabila proses pembakaran sampah berlangsung sempurna maka tidak akan menghasilkan dioksin, seperti yang diperlihatkan pada persamaan reaksi
 sCO2 + tHCl + xH2O + ySO2 + zN2       ==> CaHbOcNdSeClf + u (O2 + 3,76 N2)
Pada reaksi persamaan reaksi pembakaran diatas memperlihatkan tidak terbentuk senyawa dioksin apabila reaksi berlangsung secara sempurna (dalam reaksi yang stabil). 
Namun dengan beragamnya komposisi yang terdapat pada sampah, maka ketika sampah dibakar maka dapat menghasilkan dioksin dan furan.  Hal ini terjadi karena proses pembakaran tidak dapat dapat berlangsung secara stabil.  Adapun proses pembentukan dioksin dan furan dapat ditunjukkan pada persamaan reaksi dibawah ini.
C + H2 + Cl2 + O2 + N2
==> CO2 + CO + HCl + N2 + O2 + PCDD + PCDF        
Dioksin sebenarnya tidak hanya dihasilkan dari pembakaran sampah, akan tetapi juga dapat dihasilkan dari gas emisi kendaraan, kebakaran hutan, asap rokok atau kegiatan lainnya.  Disamping itu proses pada pemutihan bubur kertas juga dapat menghasilkan dioksin sebagai impurity pada produksi senyawa klorinat organic.  Pada industry bubur kertas dioksin ditemukan pada air limbah (efluen).  Pada proses pemutihan bubur kertas menggunakan bahan pemutih yang mengandung klorin dimana kemudian senyawa klorin tersebut bereaksi dengan senyawa organic membentuk dioksin.
Beberapa temuan menyampaikan tentang adanya sumber-sumber dioksin baru, terutama dalam bentuk flame retardants (suatu zat kimia yang dapat menunda atau mencegah pembakaran, biasanya digunakan untuk memadamkan kebakaran serta untuk melapisi benda-benda yang cenderung mudah terbakar).
Cina telah banyak melakukan penelitian tentang dioksin dan secara paralel hampir selama 30 tahun Cina juga membuat brominated flame retardant (BRF). BRF ditemukan pada produk handphone (papan sirkuit dan casing). Sampai dengan tahun 2010 permintaan BRF di Cina akan mencapai 200.000 ton dan tahun 2007 Cina juga memproduksi 25.000 ton sumber dioksin decaBDE (20% dari total dunia). Volume terbesarnya terdapat pada produk elektronik dan telah dilarang di Eropa dan beberapa negara bagian Amerika Serikat.
Sumber lainnya adalah senyawa PFOS (perfluorooctane sulfonate) dan PFOA (perfluorooctanoate) yang dalam produk anti lengket, tahan air dan noda, seperti pada produk alat rumah tangga (non stick cookware, serta produk harian seperti pakaian, karpet, kertas, pelapis tekstil, dan kemasan makanan atau plastik). PFOS dan PFOA cukup tinggi ditemukan dalam darah para pekerja di Cina.
PBDEs menunjukkan kemampuan bioakumulasi (sel mempunyai kemampuan untuk mengakumulasi nutrien dan mineral esensial, sel juga dapat mangabsorpsi dan menyimpan senyawa toksik). Konsentrasi PBDEs tersimpan dalam darah dan jaringan tubuh, serta menempatkan anak-anak terkena resiko paling tinggi untuk terkontaminasi zat berbahaya ini. Hal ini disebabkan karena zat kimia flame retardant biasa digunakan dalam produk keseharian seperti mainan dan perabot (furniture), plastik komputer dan penahan tekstil terbakar.
Bahan dasar PVC (seperti TBC) adalah penyebab terjadinya gangguan kesehatan seperti pneumoconiosis (radang paru-paru) dan dalam proses produksi atau limbah buang PVC dapat menyebabkan juga gangguan hormon (pengurangan jumlah sperma), meningkatkan resiko kanker payudara, serta menurunkan kapasitas sistem kekebalan tubuh.  
Chlorinated paraffin (SCPP) juga diproduksi  di Cina lebih dari 600.000 ton dan mengantarkan Cina untuk “menyesuaikan diri secara urgensi” apabila SCCP terdaftar di Konvensi Stockhlom. Sebuah konsekuensi serius karena penggunaan POPs yang secara kontinyu atau terus menerus akan mengancam masyarakat dan kehidupan sekelilingnya.
Flame retardant baru ditemukan seperti dechlorane plus, DBHPBT, dan TBC. Dechlorane plus digunakan sebagai pengganti Mirex (terdaftar dalam Konvensi Stockhlom). Produksinya sebanyak ribuan ton dijual dan terdapat di dalam berbagai jenis produk komersial, seperti kawat kabel listrik, bahan atap, dan bahan lainnya yang telah ada lebih dari 40 tahun. Di Cina, bioakumulasi dechlorane plus terjadi dalam rantai makanan di dekat lokasi daur ulang limbah elektronik, sedangkan di Korea dilaporkan adanya kandungan dechlorane plus pada ikan. DBHPBT terdapat dalam plastik, lilin, cat, lem, penyegel, dan lain-lain. Di Jepang digunakan untuk bahan plastik bangunan dan bagian mobil. Sifat DBHPBT meskipun tidak benar-benar beracun di Jepang sudah dianggap sebagai POPs.
TBB dan TBPH adalah pengganti untuk pentaBDE yang baru-baru ini terdaftar di Konvensi Stockholm. Sumber-sumber flame retardant ini ditemukan di air laut timur Hong Kong dan konsentrasinya semakin meningkat di setiap tahunnya sejak 2004. POPs lain yang juga muncul adalah HBCD yaitu zat yang ‘dicalonkan’ pada Konvensi Stockholm. Zat ini ditemukan di beberapa wilayah di negara-negara Asia Tenggara, Jepang, Ceko, Swedia, dan Cina. HBCD ditemukan di lokasi daur ulang limbah elektronik, debu rumah, mamalia laut, limbah lumpur dan sedimen sungai, elang, kulit pohon, dan ikan. Studi-studi biomonitoring manusia menemukan HBCD pada ASI (air susu ibu) di India dan Cina. TBBPA, Tris fostat, dan PFC (perfluorokarbon, termasuk PFOS) adalah zat temuan lainnya yang hadir terutama di ASI, dan produk lain seperti susu kemasan, sayuran, dalam organisme/makhluk hidup (moluska, lumba-lumba, capung) dan lokasi-lokasi seperti tambak udang, sedimen, limbah pabrik pengolahan, sungai, dan bendungan air. 
                                   

PCBS

berbagai produk dari plastik


pipa  PVC
Masyarakat penting mengetahui informasi beragam polutan beracun dan mampu mengambil sikap atau tindakan dalam menangani permasalahan limbah, seperti misalnya tidak membakar sampah atau berhati-hati memilih barang plastik. Konsep zero waste dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) adalah pendekatan untuk menerapkan pengelolaan limbah yang lebih bijak. Tentunya diperlukan komitmen bersama untuk penanganan sampah atau limbah di lingkungan kita. 

Dinamika Dioksin di Lingkungan
Dioksin bersifat ada terus menerus (persistent) dan terakumulasi secara biologi (bioaccumulated), dan tersebar didalam lingkungan dalam konsentrasi yang rendah. Tingkat konsentrasinya rendah, sampai parts per trillion (satu per 10 pangkat 12), terakumulasi sepanjang kehidupan dan ada terus bertahun tahun, walaupun tidak ada penambahan lagi kedalam lingkungan. Hal ini bisa meningkatkan risiko terkena kanker dan efek lainnya terhadap binatang dan manusia.
Jika dioksin berada diudara maka  akan dapat terhirup oleh manusia dan masuk ke dalam sistem pernafasan. Risiko bagi manusia yang paling besar adalah jika dioksin diterima tetap, walaupun dalam satuan takaran kecil, dan selanjutnya mengendap dalam tubuh manusia. Dioksin menimbulkan kanker, bertindak sebagai pengacau hormon, diteruskan dari ibu ke bayi selama menyusui dan mempengaruhi sistem reproduksi. Selain mengakibatkan penyakit tersebut, dioksin dengan demikian juga mempengaruhi kemampuan belajar oleh anak yang sangat peka terhadap pencemaran udara.
Dioksin dalam jumlah kecil juga terdapat dalam asap rokok. Belum banyak pula yang menyadari bahwa insinerator atau pembakaran sampah di rumah-rumah sakit merupakan penghasil dioksin yang sangat berbahaya. Dioksin mempunyai struktur kimia yang sangat stabil dan bersifat lipofilik, yaitu tidak mudah larut dalam air tetapi mudah larut di dalam lemak. Karena kestabilan strukturnya ini, maka dioksin sangat berbahaya, sebab tidak mudah rusak atau terurai. Dioksin dapat berada di dalam tanah dan terakumulasi sampai 10-12 tahun. Dioksin bersifat mudah larut dalam lemak sehingga dapat terakumulasi dalam pangan yang relatif tinggi kadar lemaknya.

Bahaya Keracunan Dioksin
Beberapa dekade terakhir telah banyak dilakukan kajian dan riset tentang bahaya dioksin bagi mahluk hidup khususnya manusia.  Adapun kasus-kasus yang terjadi sepanjang sejarah menyangkut efek bahaya dari senyawa dioksin misalnya:
·        Kasus dari Monsanto plant di Nitro, West Virginia, tahun 1949. Akibat kecelakaan di pabrik herbisida 2,4,5-T itu, 250 pekerja terkena penyakit chloracne, penyakit kulit berupa gatal-gatal memerah. Baru tahun 1955, Karl Schultz (seorang dokter Jerman) mensinyalemen bahwa chloracne adalah akibat racun dioksin.
·         Kasus meledaknya pabrik kimia Hoffman-LaRoche di Seveso, Italia, tahun 1976. Akibatnya, sejumlah besar TCDD terlepas sampai ke atmosfer. Di daerah sekitar pabrik, hewan-hewan mati, terjadi destruksi vegetasi, penduduk mengalami keracunan akut, kasus-kasus chloracne, abortus, dan kelainan kongenital. Bahkan penelitian yang dilakukan Bertozzi dkk. pada tahun 1993 menemukan adanya peningkatan kasus kanker.
·         Penggunaan herbisida Agent Orange dalam Perang Vietnam (1960 – 1970) ternyata juga menyemburkan dioksin. Agent Orange digunakan untuk merontokkan dedaunan agar hutan-hutan Vietnam tidak bisa digunakan untuk bersembunyi tentara Vietkong. Tahun 1983, kantor veteran Chicago mencatat ada 17 ribu lebih veteran yang mengklaim ganti rugi akibat dioksin sewaktu bertugas di Vietnam.
·         Terbakarnya kabel PVC di Beverly Hills Supper Club bahkan merenggut nyawa 161 orang. Kebakaran tahun 1977 itu menimbulkan asap putih. Menurut salah seorang pekerja di situ, asap pedas yang mengandung gas hidrogen klorida (HCl) itu bisa bereaksi dengan pewarna kuku. Bahkan hasil reaksi tersebut dapat memakan kuku. Ketika terhirup dan masuk ke dalam paru-paru bersama udara yang mengandung air, HCl akan berubah menjadi asam klorida yang korosif. Akibatnya, yang selamat pun mengalami luka parah pada saluran pernapasannya.
·         Kasus di Time Beach, Missouri, pada tahun 1971 bisa menjadi gambaran. Sebuah perusahaan herbisida sembarangan saja membuang sampah industri ke tempat pembuangan oli bekas. Lalu oli bekas tersebut terpakai untuk menyemprot lapangan pacuan kuda, jalanan, serta tempat-tempat berdebu. Selain gangguan berupa chloracne dan radang kandung kemih yang akut, penyemprotan itu juga menimbulkan kematian dan penyakit pada ternak. Daerah tersebut kemudian dibeli oleh EPA (Badan Perlindungan Lingkungan AS) dan biaya yang dikeluarkan untuk membersihkan dioksin mencapai AS $ 100 juta.

Pencegahan Peningkatan Dioksin
Untuk dapat menahan laju pertumbuhan senyawa dioksin di udara, khususnya dari pembakaran sampah di perkotaan, maka perlu dilakukan pengendalian sampah secara terpadu.
1.      Pertama harus memberikan kesadaran pada masyarakat untuk dapat memisahkan sampah-sampah organic yang mudah terdegradasi oleh mikroorganisme dengan sampah yang susah terdegradasi seperti plastic.  Sampah-sampah plastic yang susah terdegradasi harus dikumpulkan dan jangan dibakar begitu saja karena berpotensi untuk menghasilkan dioksin.
2.      Pemerintah daerah, dimana daerahnya memproduksi sampah dalam jumlah yang sangat besar maka harus menyediakan incinerator yang mampu melakukan pembakaran sampah berkisar antara 800 – 1100 0C, sebab dengan incinerator yang mampu membakar sampah hingga temperature 10000C tidak akan menghasilkan dioksin.   Terjadinya dioksin dalam pembakaran sampah, dapat dikendalikan dengan penguraian suhu tinggi dioksin atau prehormon melalui pembakaran sempurna yang stabil. Untuk itu, penting untuk mempertahankan suhu tinggi gas pembakaran dalam tungku pembakaran, menjaga waktu keberadaan yang cukup bagi gas pembakaran, serta pengadukan campuran antara gas yang belum terbakar dan udara dalam gas pembakaran.
3.      Pencegahan pembentukan senyawa de novo yang juga merupakan penyebab munculnya dioksin, pendinginan mendadak serta pengkondisian suhu rendah gas pembakaran akan efektif.
4.      Terhadap debu terbang yang dikumpulkan dengan penghisap debu yang banyak mengandung dioksin, ada teknologi pemrosesan reduksi khlorinat dengan panas. Untuk udara atmosfir yang dikembalikan, karena menggunakan reaksi reduksi khlorinat dengan menukar khlor yang terkandung dalam dioksin dengan hidrogen, dengan terus memanaskan debu terbang pada suhu diatas 8000C dioksin dalam debu dari jumlah totalnya akan terurai. Ini digunakan sebagai teknologi yang dapat menguraikan dioksin dengan energi input lebih sedikit dibandingkan dengan peleburan.
Teknologi Baru Mengurai Dioksin
1.      Menggunakan Titanium dan Ultraviolet
Kini, sebuah teknologi baru telah dikembangkan untuk memecahkan dioksin yang menyusahkan ini, yakni dengan memaparinya dengan cahaya dan mengubahnya menjadi sesuatu yang tidak berbahaya.
Alat yang baru dikembangkan ini adalah sebuah alat untuk menghilangkan dioksin yang menggunakan suatu zat yang disebut Titanium dioksida. Titanium Oksida adalah senyawa yang banyak digunakan dalam pembuatan cat. Jika dikenai pada cahaya, terutama sinar ultra violet, maka senyawa tersebut akan bereaksi dengan oksigen di udara, dan dapat memecahkan materi-materi organik. Peralatan baru tersebut memanfaatkan sifat Titanium Oksida ini. Alat ini dipasang pada pipa gas buangan fasilitas pembakar sampah atau incinerator. Bila sampah dibakar, maka dioksin di dalam gas yang melalui pipa itu akan diurai menjadi karbon dioksida dan air, dengan mengenai Titanium Oksida dalam alat itu dengan sinar ultra violet.
Dengan menggunakan silika gel (bahan penyerap kelembaban), para ilmuwan telah berhasil menggunakan Titanium dioksida untuk mengurai dioksin. Silika gel tersbut — yang berdiameter 3 mm dan permukaannya dilapisi oleh Titanium Oksida — digunakan pada alat tersebut. Permukaan silika gel ini memiliki banyak lubang, sehingga memperbesar luas permukaannya, dan itu akan menarik dioksin terus menerus dengan daya serap yang besar.
Dioksin yang diserap ke dalam silika gel tersebut kemudian diurai oleh Titanium Oksida yang dikenai pada sinar ultra violet. Hal yang menguntungkan, silika gel tembus pandang sehingga cahaya dapat menembusnya dan menyebabkan reaksi kimia di seluruh tempat. Oleh karena itu, hal ini dapat memecahkan dioksin dengan keandalan tinggi lebih dari 99 persen.
Peralatan yang baru dikembangkan ini sangat mudah untuk dipasangkan pada fasilitas pembakar sampah/incinerator yang sudah ada. Dan juga teknologi baru ini ramah lingkungan. Di masa lalu, cara menguraikan dioksin adalah dengan membakarnya pada suhu yang sangat tinggi — sekitar 1000 derajat celcius –, namun dengan teknologi baru ini tidak diperlukan lagi energi sebanyak itu.
Alat ini hanya perlu memaparkan Titanium dioksida pada sinar ultra violet, jadi biaya operasinya hampir dapat dikatakan sangat rendah.
2.      Mengurai Dioksin dengan Enzim
Baru-baru ini, Prof. K. Inoue dkk dari Kyoto University Jepang mengumumkan sebuah cara baru menguraikan dioksin, yakni dengan menggunakan enzim hasil penemuannya. Enzim buatan ini diperoleh dengan cara mengubah struktur gen pada enzim pengurai obat yang dimiliki oleh semua binatang mamalia. 
Pada dasarnya binatang mamalia memiliki sekumpulan enzim yang disebut cytocrom P-450, yang bekerja menguraikan zat kimia di dalam tubuh sehingga menjadi tidak beracun. Kumpulan enzim ini dapat juga menguraikan jenis dioksin yang tingkat toksisitasnya rendah, namun tidak sanggup menguraikan jenis dioksin dengan tingkat toksisitas sangat tinggi seperti 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD). Prof. Inoue dkk membuat enzim buatan pengurai dioksin jenis ini dengan cara mengambil satu jenis enzim dalam cytocrom P450 dari tikus. Dengan metoda transgenik, gen dalam enzim ini diubah agar bisa membentuk molekul enzim dimana bagian yang berfungsi mengikat zat kimia yang ingin diurai menjadi lebih panjang, kemudian gen ini ditransfer ke ragi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa enzim buatan ini dapat menguraikan 1 molekul 2,3,7,8-TCDD perjam, yang berarti kecepatan mengurainya 10~100 kali lebih tinggi dari enzim yang ada pada tubuh manusia. 
Penelitian ini masih dalam tahap awal. Namun, menurut Prof. Inoue, jika ini berhasil akan dapat diaplikasikan secara luas di berbagai bidang seperti menguraikan dioksin dalam bahan makanan, tanah dan lain sebagainya. 
Perlu diketahui, lebih dari 90% dioksin yang masuk kedalam tubuh kita adalah melalui makanan, baru sisanya melalui pernafasan. Berarti, enzim temuan ini bisa jadi alat canggih untuk menanganani dioksin yang sudah menjadi momok seluruh dunia.


Bagaimana menghindarkan dioksin dalam makanan?
Gaya hidup yang salah, yang pada dasarnya merupakan pergeseran budaya ini justru belakangan ini membentuk suatu budaya baru bagi masyarakat kita. Lihat saja bagaimana anak-anak kita menyukai makanan yang berasal dari luar (dari Amerika atau Eropa), padahal bisa jadi di negera asalnya sudah menjadi "Junk Food" (makanan sampah).
Dioksin bukan zat yang mudah terurai di alam. Sebagai akibatnya, dioksin terdapat di tanah, air, dan permukaan tumbuhan. Dari sini kemudian dioksin memasuki rantai makanan dan mencemari ikan, daging, dan produk-produk hewani. Bahkan lebih dari 90% paparan dioksin yang dialami manusia bersumber dari makanan yang berasal dari hewan.
Sebagaimana dimaklumi bahwa racun melalui makanan akan jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan cara lain. Hal ini dapat dipahami, karena dengan melalui makanan maka makanan akan langsung masuk ke jaringan organ tubuh, dan dapat langsung dirasakan akibatnya. Begitupun dengan bahaya dioksin yang terdapat dalam makanan, akan langsung memasuki jaringan organ tubuh manusia jika makanan yang mengandung dioksin tersebut dimakan.
Kadar bahaya dioksin yang terdapat dalam makanan/minuman kini banyak diketahui oleh berbagai kalangan, akan tetapi ada tidaknya dioksin dalam makanan sukar untuk di deteksi. Pada makanan tersebut tidak tercium bau yang mencurigakan, tidak pula terjadi perubahan warna pada makanan tersebut. Bahkan alat untuk menguji makanan yang berbahaya inipun konon belum dimiliki Indonesia, bahkan di Asia Tengara. (wadoww…)
Menyikapi kondisi seperti ini, maka sangat mendesak adanya jaringan informasi yang memadai yang dapat langsung memberi sinyal bahaya suatu produk yang telah tercemar. Karena bisa jadi suatu pencemaran terjadi di negara tertentu (seperti kasus Belgia), sementara yang menjadi korban adalah masyarakat di negara lain. Selanjutnya perlu ada jaringan keamanan suatu produk yang sifatnya internasional secara adil. Karena kita tentu tidak menghendaki negara-negara dunia ketiga yang menjadi korban, karena hanya menjadi buangan produk dari negara-negara maju, walaupun dengan berbagai alasan atau mungkin juga jaminan.
Bukti negara-negara ketiga menjadi korban karena melakukan impor dari negara lain, dapat dilihat bagaimana tatkala Ditjen POM mengumumkan 24 jenis produk yang tercemar/atau paling tidak perlu pengamanan untuk selanjutnya. Seperti yang dilakukan tanggal 18 Juni 1999, di berbagai media masa seperti berikut ini :

Dari daftar tersebut di atas, kita patut curiga karena bisa jadi susu, keju, es cream dan sejenisnya yang biasa kita makan sehari-hari sudah tercemar racun yang membahayakan itu. Apalagi dengan gaya hidup sebagian dari anngota masyarakat kita khususnya anak-anak dan remaja yang sangat menyukai makanan tersebut.
Selain makanan seperti daftar di atas, diam-diam banyak bahan makanan yang potensial bersifat karsinogenik yang selama ini kita konsumsi, sifat tersebut ada yang memang alami (naturally occuring), dan ada pula yang muncul dalam proses pengolahan, pengasapan, pemanggangan, atau pengasinan. Bahkan bisa jadi memasak dengan cara menggoreng dengan menggunakan minyak yang berulang-ulang, menurut para ahli gizi, potensial untuk memicu tumbuhnya kanker.
Kondisi seperti ini menuntut kepada kita untuk bersikap ekstra hati-hati dalam mengkonsumsi makanan, dan yang lebih baik tentunya kita kembali kepada makanan-makanan yang sifatnya alami, yakni makanan yang kita olah dan produk sendiri baik itu tumbuh-tumbuhan, biji-bijian, makanan pokok, maupun daging dan ikan.
Dioksin adalah senyawa yang tergolong karsionogenik. Dampak keracunan dioksin untuk jangka panjang adalah kanker dan aterosklerosis sehingga menaikkan angka kematian sampai 46 % pada beberapa kasus. Karena sumber dioksin bisa dari berbagai materi yang ada di sekitar kita, maka dioksin menjadi ancaman serius bagi kesehatan manusia, karena pengaruh negatifnya sudah dapat dicapai hanya pada dosis yang sangat rendah yaitu beberapa part per trillum dalam lemak tubuh kita. Dioksin merupakan senyawa yang mampu mengacaukan sistem hormon, yaitu dengan cara bergabung dengan kaseptor hormon, sehingga mengubah fungsi dan mekanisme genetis dari sel, dan mengakibatkan pengaruh yang sangat luas, yaitu kanker, menurunkan daya tahan tubuh, mengacaukan sistem saraf, keguguran kandungan, dan dapat mengakibatkan cacat kelahiran (birth deformity). Dioksin secara langsung mampu menurunkan sel B dan secara tidak langsung menurunkan jumlah sel T yang berperan dalam sistem imun. Karena mampu mengubah fungsi genetika sel, jadi dapat menyebabkan timbulnya penyakit genetis dan dapat mempengaruhi pertumbuhan anak.
Umumnya dioksin dihasilkan dari pembakaran sampah, hasil samping produk pestisida, pembakaran dari proses produksi baja atau proses kimia suatu produk yang menggunakan chlor sebagai pemutih seperti kertas, plastik, bahan T-shirt dan sebagainya.Dioksin dikenal sebagai senyawa hidrofobik (tidak akur dengan air).




Efek : http://www.kalbe.co.id/index.php?mn=news&tipe=detail&detail=19459Ains: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3478/1/farmakologi-aznan4.pdf
Zulia http://zulliesikawati.wordpress.com/tag/ains/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar